Pernah tidak kalian merasakan yang namanya jenuh.
rasa yang bikin hari-hari kita itu jadi malas aja bawaannya.
kalau gue pernah tu coy.
bawaannya pengen tidur aja kagak mau buat aktivitas, padahal tu kerjaaan masih numpuk abis coy.
sampai suatu ketika bapak gue nelpon sebenarnya cuma pembicaraan sebatas ingin tahu apa kabarnya disana. maklum gue ini kan perantauan coy. bapak sama mamak sama adek cewek ada dikampung satu lagi saudara laki-laki gue yakni abang sekarang merantau jauh di ibukota Jakarta. kapan-kapan lah gue ceritain semua keluarga-keluarga gue coy, kali ini kita bahas masalah jenuh ini dulu, jenuh disini bukan yang ada dalam mata pelajaran tu coy titik jenuh sekian persen, bukan. jenuh disini rasa bosan rasa malas mau bikin apa-apa, gitu.
lanjut coy ke yang pas bapak gue nelpon tadi. jadi pas bicara ini itu maksudnya tanya kabar,makan,keluarga yang lain dll lah coy. akirnya terakhir bapak gue berikan suatu motivasi yang sedikit menyentuh dan membuat otak ini mempelajarinya coy, apa tu kata-katanya, ini dia coy
beliau berkata, Lis (panggilan gue sma bapak) mumgkin saat ini awak lagi malas,lagi lesu, tapi tetaplah beraktivitas nak karna MUNGKIN ADA ORANG YANG DI LUAR SANA YANG SANGAT INGIN SEKALI PEKERJAAN YANG KAMU JALANI SAAT INI.
entu dia coy walaupun cuma macam tu tapi otak ini mencernanya lebih jauh lagi.
maksudya adalah kita yang bosan dengan keadaan kita saat ini berpikirlah bahwa di luar sana ada yang lebih susah lagi pekerjaannya jika dibandingkan dengan pekerjaan kita mungkin jika diajak bertukar pekerjaan atau bertukar keadaan dia akan memilih keadaan kita ini walaupun dengan membayar.
syukuri lah coy keadaan kita saat ini okeh.
sekian dulu dari gue coy
salam semangat!!!
HUJAN
Minggu, 26 Januari 2014
Sabtu, 25 Januari 2014
makalah prosedur penyelesaian sengketa bisnis syariah
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapakan
kehadiran Allah Yang Maha Esa karena berkat rahmatNya karya tulis dengan judul “PROSEDUR
PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS SYARIAH ”, dapat penulis selesaikan dengan baik.
Penulis menyadarai bahwa karya tulis
ini masih terdapat kekurangan, baik dari aspek sistematika penulisan, maupun
dari aspek bahasa yang digunakan. Oleh karena itu, semua saran dan kritikan
yang bertujuan memperbaiki karya tulis ini, penulis terima dengan senang hati.
Dan semoga karya tulis ini bermanfaat bagi penulis sendiri maupun bagi para
pembaca. Penulis juga mohon maaf jika ada kesalahan kata-kata yang tidak
berkenan di hati pembaca dan jika ada kebenarannya maka itu datanganya dari
Allah SWT semata-mata. Amin... Ya Rabbal Alamin.
Jambi, september 2013
penulis
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR ....................................................................................................... 1
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Penyelesaian Melalui Proses Persidangan (Litigasi)................................................ 4
- Prinsip utama dalam menangani perkara perbankan syariah ................................... 6
- Prosedur Pemeriksaan Perkara Perbankan Syariah ................................................. 8
1.
Pemeriksaan
di Persidangan Sesuai Hukum Acara Perdata ............................. 8
2.
Sumber-sumber
HUkum Materiil
dalam
mengadili Perkara Perbankan Syariah........................................................... 9
DAFTAR
PUSTAKA......................................................................................................... 12
PEMBAHASAN
Peradilan agama sebagai salah satu
badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman untuk menegakkan hukum
dan keadilan bagi orang-orang yang beragama islam, yang sebelumnya berdasarkan
Undang-undang nomor 7 tahun 1989, sekarang berdasarkan Pasal 49 huruf I
undang-undang nomor 3 tahun 2006 yang dimaksud dengan ekonomi syariah.
Berdasarkan penjelasan pasal 49 huruf I undang-undang nomor 3 tahun 2006 yang
dimaksud dengan ekonomi syariah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang
dilaksanakan menurut prinsip syariah, meliputi : a. bank syariah, b. asuransi
syariah, c. reasuransi syariah, d. reksadana syariah, e. obligasi syariah dan
surat berharga berjangka menengah syariah, f. sekuritas syariah, g. pembiayaan
syariah, h. pegadaian syariah, i. dana pensiun lembaga keuangan syariah, j.
bisnis syariah, dan k. lembaga keuangan mikro syariah.
Penerapan prinsip syariah dalam
dalam penyelesaian sengketa menjadi lebih sulit ketika harus diselesaikan
melalui lembaga pengadilan, karena sebelumnya sesuai dengan ketentuan UU No. 2
Tahun 1986 sengketa dalam bidang perbankan syariah tersebut termasuk dalam
ruang lingkup kewenangan absolute lingkungan peradilan umum. Dalam hal ini
persoalannya bukan hanya menyangkut hakim peradilan umum yang belum tentu menguasai
masalah ekonomi syariah tetapi lebih dari itu peradilan umum tidak menggunakan
sayariah islam sebagai landasan hukum dalam menyelesaikan perkara-perkara yang
diajukan kepadanya.
Dengan masuknya sengketa bidang
perbankan syariah dalam kewenangan absolute lingkungan peradilan agama
didasarkan pada UU No. 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas UU No 7 Tahun 1989
tentang peradilan agama, yang kemudian disusul dengan UU No. 21 Tahun 2008 tentang
perbankan syariah.
Luasnya cakupan bidang hukum yang
terkait dengan bidang perbankan syariah tersebut membuat tidak tertutup
kemungkinan terjadinya titik singgung atau persentuhan kewenangan
mengadili yang dapat berakibat tidak adanya ketertiban dan kepastian dalam
penegakan hukum atau maksudnya tidak adanya kejelasan hukum. Dibawah ini saya
akan memberikan beberapa contoh penyelesaian masalah-masalah yang berhubungan
dengan perbankan syariah atau setidaknya masalah-masalah syariah.
A.
Penyelesaian
Melalui Proses Persidangan (Litigasi)
Sebagaimana lazimnya dalam menangani
setiap perkara yang diajukan kepadanya, hakim selalu dituntut mempelajari
terlebih dahulu perkara tersebut secara cermat untuk mengetahui substansinya
serta ikhwal yang senantiasa ada menyertai substansi perkara tersebut. Hal ini
perlu dilakukan guna menentukan arah jalannya pemeriksaan perkara tersebut
dalam proses persidangan nantinya. Untuk itu hakim harus sudah mempunyai resume
tentang perkara yang ditanganinya sebelum dimulainya proses pemeriksaan
dipersidangan. Berkaitan dengan hal tersebut, dalm hal memeriksa perkara
ekonomi syariah khususnya perkara perbankan syariah ada beberapa hal penting
yang harus dilakukan terlebih dahulu antara lain yaitu :
1. Pastikan
lebih dahulu perkara tersebut bukan perkara perjanjian yang mengandung klausula
arbitrase.( Klausula adalah setiap aturan atau ketentuan dan
syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara
sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan / atau
perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen, klausula aturan sepihak yang dicantumkan dalam
kuitansi, faktur / bon, perjanjian atau dokumen lainnya dalam transaksi jual
beli tidak boleh merugikan konsumen.sedangkan Klausula arbitrase adalah suatu
klausula dalam perjanjian antara para pihak yang mencantumkan adanya
kesepakatan untuk menyelesaiakan sengketa yang timbul antara para pihak melalui
proses arbitrase.)
Pentingnya memastikan terlebih dahulu apakah perkara
tersebut termasuk sengketa perjanjian yang mengandung klausula arbitrase atau
bukan, tidak lain dimaksudkan agar jangan sampai pengadilan agama yang
memeriksa dan mengadili perkara yang ternyata di luar jangkauan kewenangan
absolutnya. Sementara pemeriksaan terhadap perkara tersebut sudah berjalan
sedemikian rupa, atau bahkan sudah diputus.
Kewenangan absolut lingkungan peradilan agama tidak
menjangkau sengketa atau perkara perjanjian yang didalamnya terdapat klausula
arbitrase. Oleh karena itu, hal ini sangat penting untuk diperhatikan dan
dipastikan terlebih dahulu sebelum proses pemeriksaan perkara tersebut berjalan
lebih jauh. Bahkan seharusnya hal ini dilakukan sebelum mengpayakan perdamaian
bagi para pihak. Jika perkara tersebut merupakan sengketa perjanjian yang
mengandung klausula arbitrase, maka tdak perlu lagi hakim melanjutkannya dengan
mengupayakan perdamaian karena jelas perkara tersebut tidak termasuk wewenang
absolute lingkungan peradilan agama. Termasuk dalam hal mengupayakan
perdamaiannya, pengadilan agama tidak berwenang.
Perkara yang mengandung klausula arbitrase adalah jika
dalam perjanjian tersebut terdapat klausula yang pada prinsipnya menyatakan
bahwa apabila terjadi perselisihan atau sengketa (disputes) di antara
mereka mengenai perjanjian tersebut akan diselesaikan dengan cara melalui suatu
badan arbitrase yang telah mereka tentukan, berarti perjanjian tersebut jelas
mengandung apa yang dinamakan dengan klausula arbitrase.
Adapun sikap yang tepat bagi pengadilan agama, jika
perkara tersebut merupakan sengketa perjanjian yang mengandung klausula
arbitrase sebelum memeriksanya lebih jauh adalah menjatuhkan putusan negative
berupa pernyataan hukum yang menyatakan bahwa pengadilan agama tidak berwenang
memeriksa dan mengadili perkara tersebut.
2. Pelajari
secara cermat perjanjian (akad) yang mendasari kerjasama antarpara pihak .
Setelah
dipastikan bahwa perkara perbankan syariah yang ditangani tersebut bukan
merupakan perkara perjanjian yang mengandung klausula arbitrase, lalu
dilanjutkan dengan upaya perdamaian bagi para pihak. Selanjutnya apabila upaya
damai ternyata tidak berhasil, hal penting lainnya yang harus dilakukan adalah
mempelajari lebih jauh perjanjian atau akad yang mendasari kerjasama para pihak
yang menjadi sengketa tersebut.
Adapun hukum perjanjian yang dapat dijadikan acuan
dalam hal ini, baik yang diatur dalam KUHPerdata dari Pasal 1233 sampai Pasal
1864 yang disebut dengan perjanjian nominaat maupun hukum perjanjian yang tidak
diatur dalam KUHPerdata, seperti kontrak production sharing, kontrak join
venture, kontrak karya, leasing, beli sewa, franchise,
kontrak rahim dan lain lain yang disebut dengan perjanjian innominaat, yakni
perjanjian yang timbul, tumbuh, hidup, dan berkembang dalam praktik kehidupan
masyarakat.
Ketentuan-ketentuan hukum perjanjian tersebut dalam
penerapannya tentu saja harus relevan dengan ketentuan-ketentuan hukum
perjanjian dalam islam baik yang diatur dalam Al-Quran, As-Sunnah atau pendapat
ulama dibidang tersebut. Dengan perkataan lain dalam hal ketentuan-ketentuan
perjanjian tersebut ternyata dalam penerapannya bertentangan dengan
ketentuan-ketentuan hukum islam, maka hakim harus mengutamakan
ketentuan-ketentuan hukum islam.
B.
Prinsip
utama dalam menangani perkara perbankan syariah
Adapun prinsip utama yang harus
benar-benar dipahami dan diperhatikan dalam menangani perkara perbankan syariah
khususnya dan bidang perkara ekonomi syariah pada umumnya bahwa dalam proses
penyelesaian perkara tersebut sama sekali tidak boleh bertentangan dengan
prinsip syariah. Hal ini jelas merupakan prinsip fundamental dalam menangani
dan menyelesaikan perkara perbankan syariah di pengadilan agama karena
perbankan syariah seperti di tegaskan Pasal 1 ayat (7) jo. UU No. 21 Tahun 2008
dalam menjalankan kegiatan usahanya tidak lain berdasarkan prinsip syariah.
Oleh karena itu, jika terjadi sengketa berkaitan dengan kegiatan usaha tersebut
jelas tidak mungkin diselesaikan dengan cara cara yang justru bertentangan
dengan prinsp syariah.
Hal ini penting diingatkan dan
dipahami karena seperti diketahui hukum formil, dan bahkan mungkin sebagian
hukum materil, dalam hal ini seperti HIR/R.Bg, RV dan KUHPerdata, yang akan
digunakan dalam menyelesaikan sengketa perbankan syariah di lingkungan
peradilan agama, pada awalnya memang bukan dibuat dengan tujuan untuk
menegakkan dan melindungi hukum materil islam.
Oleh karena itu, meskipun
ketentuan-ketentuan hukum tersebut secara umum tidak banyak yang bertentangan
dengan hukum islam, tetapi tidak mustahil masih ada bagian-bagian dari
ketentuan-ketentuan tersebut yang apabila diterapkan apa adanya justru akan
bertentangan atau dianggap tidak relevan dengan prinsip syariah yang menjadi
dasar perbankan syariah dalam menjalankan segala aktivitasnya sehingga hal itu
menimbulkan persoalan baru.
Dalam penyelsaian sengketa perbankan
syariah di pengadilan agama, hakim dalam hal ini harus berhati-hati. Sebab,
meskipun mengenai hal ini sudah ada fatwanya, yaitu fatwa No.
17/DSN-MUI/IX/2000 Tentang Sanksi Atas Nasabah Mampu yang Menunda-nunda Pembayaran,
namun keabsahan hukumnya hingga saat ini dikalangan ulama masih kontroversial.
Disatu sisi pihak terdapat
ulama-ulama yang menentang pemberian sanksi berupa denda sejumlah uang terhadap
keterlambatan tersebut karena sanksi semacam itu dianggap mengandung unsur riba
yang secara qat’I dilarang syara,, sementara hal mendasar yang
membedakan bank syariah dengan bank konvensional justru unsur yang mengandung
riba itu sendiri. Dipihak lain, terdapat ulama yang mendukung pemberian sanksi
semacam itu terhadap nasabah tersebut karena beralasan untuk menegakkan maqasid
asy-syariah. Berkaitan dengan hal itu jika dihadapkan dengan kasus-kasus
semacam itu hakim dituntut berhati-hati dan secermat mungkin agar putusan yang
dijatuhkan tidak bertentangan dengan prinsip syariah sehingga justru
menimbulkan persoalan baru bagi para pencari keadilan khususnya dan bagi
masyarakat pada umumnya
C. Prosedur Pemeriksaan Perkara Perbankan Syariah
1.
Pemeriksaan
di Persidangan Sesuai Hukum Acara Perdata
Apabila upaya penyelesaian melalui
perdamaian tidak berhasil, dimana kedua belah pihak ternyata tidak mememui kata
sepakat untuk menyelesaiakan perkaranya secara damai maka sesuai dengan
ketentuan Pasal 115 R.Bg atau Pasal 131 HIR ayat (1) dan (2) jo. Pasal 18 ayat
(2) PERMA hakim harus melanjutkan pemeriksaan perkara tersebut sesuai dengan
ketentuan hukum acara yang berlaku. Dengan demikian, perkara tersebut akan
diperiksa dan diselesaikan melalui proses persidangan sebagaimana mestinya.
(baru sampai sini dibaca dan
dikoreksi)
Penyelesaian perkara perbankan
syariah dilingkungan peradilan agama akan dilakukan sesuai dengan ketentuan
hukum acara perdata sebagaimana yang berlaku di lingkungan peradilan umum.
Artinya, setelah upaya damai ternyata tidak berhasil maka hakim melanjutkan
proses pemeriksaan perkara tersebut di persidangan sesuai dengan ketentuan
hukum acara perdata yang dimaksud. Dengan dmikian dalam hal ini proses
pemeriksaan perkara tersebut akan berjalan sebagaimana lazimnya proses
pemeriksaan perkara tersebut akan berjalan sebagaimana lazimnya proses
pemeriksaan perkara perdata di pengadilan yang secara umum akan dimulai dengan
pembacaan surat gugatan penggugat, lalu disusul dengan proses jawab menjawab
yang akan diawali dengan jawaban dari pihak tergugat, kemudian replik
penggugat, dan terakhir duplik dari pihak tergugat.
Setelah proses jawab menjawab
tersebut selesai, lalu persidangan dilanjutkan dengan acara pembuktian. Pada
tahap pembuktian ini kedua pihak berperkara masing-masing mengajukan
bukti-buktinya guna mendukung dalil-dalil yang telah dikemukakan dipersidangan.
Setelah masing-masing pihak mengajukan bukti-buktinya, lalu tahap berikutnya
adalah kesimpulan dari para pihak yang merupakan tahap akhir dari proses
pemeriksaan perkara di persidangan.
Setelah seluruh tahap pemeriksaan
perkara dipersidangan selesai, hakim melanjutkan kerjanya untuk mengambil
putusan dalam rangka mengadili atau memberikan keadilan daam perkara tersebut.
Untuk itu tindakan selanjutnya yang harus dilakukan hakim dalam memeriksa dan
mengadili perkara tersebut adlah melakukan konstatir, mengkualifisir, dan
mengkonstituir guna menenmukan hukum dan menegakkan keadilan atas perkara
tersebut untuk kemudian disusun dalam suatu putusan (vonis) hakim.
2.
Sumber-sumber
HUkum Materiil dalam mengadili Perkara Perbankan Syariah
Dalam mengadili perkara, hakim
mencari hukumnya dari sumber-sumber yang sah dan menafsirkannya, untuk kemudian
diterapkan pada fakta atau peristiwa konkrit yang ditemukan dalam perkara tersebut.
Sumber-sumber hukum yang sah dan diakui secara umum, khususnya di bidang bisnis
adalah isi perjanjian, undang-undang,yurisprudensi, kebiasaan, perjanjian
internasional, dan ilmu pengetahuan. Adapun bagi
lingkungan peradilan agama, sumber-sumber hukum yang terpenting untuk dijadikan
dasar dalam mengadili perkara-perkara perbankan syariah setelah Al-Quran dan
AS-Sunnah sebagai sumber utama, antara lain adalah :
a.
Isi
perjanjian atau akad (agreement) yang dibuat para pihak.
Dijadikannya isi perjanjian atau akad, yang dibuat
para pihak sebagai salah satu sumber hukum untuk dijadikan dasar dalam
mengadili perkara perbankan syariah tidak terlepas dari kedudukan perjanjian
atau akad itu sendiri yang berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang
membuatnya sebagaimana digariskan Pasal 1338 sampai dengan Pasal 1349
KUHPerdata.
b. Peraturan
Perundang-undangan di bidang perbankan syariah
Adapun peraturan perundang-undangan yang dapat
dijadikan sebagai sumber hukum dalam mengadili perkara perbankan syariah antara
lain adalah :
1. UU No. 10
Tahun 1998 tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan
2. UU No. 3
Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia
3. UU No. 21
Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
4. UU No. 24
Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan
5. PBI No.
6/24/PBI/2004 Tanggal 14 Oktober 2004 tentang Bank Umum yang melaksanakan
kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah
6. PBI No.
6/17/PBI/2004 tanggal 1 Juli 2004 tentang Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan
Prinsip Syariah
7. SK Direksi
Bank Indonesia No. 21/48/Kep./Dir/1988 tentang sertifikat deposito
8. SE. Bank
Indonesia No. 28/32/UPG tanggal 4 juli 1995 tentang Bilyet Giro
9. Berbagai
surat Keputusan dan Surat Edaran Bank Indonesia lainnya yang berkaitan dengan
kegiatan usaha Perbankan Syariah.
c.
Kebiasaan-kebiasaan
di bidang ekonomi syariah
Untuk dapat dijadikan sebgai sumber hukum guna
dijadikan dasar dalam mengadili perkara perbankan syariah, kebiasaan dibidang
ekonomi syariah itu haruslah mempunyai paling tidak tiga syarat yaitu :
1. Perbuatan
itu dilakukan oleh masyarakat tertentu secara berulang-ulang dalam waktu yang
lama (longa et invetarata consuetindo)
2. Kebiasaan
itu sudah merupakan keyakinan hukum masyarakat (opinion necessitates);
dan
3. Adanya
akibat hukum apabila kebiasaan itu dilanggar.
Apabila kebiasaan dibidang ekonomi syariah mempunyai
tiga syarat tersebut, maka dapat dijadikan sumber hukum sebagai dasar dalam
mengadili perkara perbankan syariah.
d. Fatwa-Fatwa
Dewan Syariah Nasional di Bidang Perbankan Syariah
Fatwa-fatwa DSN yang dapt dijadikan sumber hukum dalam
mengadili perkara perbankan syariah adalah meliputi seluruh fatwa DSN di bidang
perbankan syariah. Seperti diketahui fatwa tidak lain adalah merupakan produk
pemikiran hukum islam yang bersifat kasuistik yang umumnya merupakan respons
atas pertanyaan yang diajukan peminta fatwa. Pada dasarnya fatwa memang tidak
memiliki daya ikat, baik terhadap peminta fatwa sendiri lebih lebih terhadap
pihak lain. Namun dalam mengadili perkara perbankan syariah di pengadilan
agama, khususnya fatwa DSN di bidang perbankan syariah, tampaknya mempunyai
kedudukan dan perlu diperlakukan tersendiri.
e.
Yurisprudensi
Yurisprudensi yang dapat dijadikan sumber hukum
sebagai dasar mengadili perkara perbankan syariah dalam hal ini adalah
yurisprudensi dalam arti putusan hakim tingkat pertama dan tingkat banding yang
telah berkekuatan hukum tetap. Dan dibenarkan oleh Mahkamah Agung, atau putusan
Mahkamah Agung itu sendiri yang telah berkekuatan hukum tetap, khususnya di
bidang Perbankan syariah.
f.
Doktrin
Doktrin yang dapat dijadikan sebagai salah satu sumber
hukum dalam mengadili perkara-perkara perbankan syariah tersebut adlah
pendapat-pendapat para pakar hukum islam yang terdapat dalam kitab kitab fikih.
DAFTAR PUSTAKA
Anshori Abdul Gofur,
2009, Perbankan Syariah Di Indonesia, Gajah Mada University Press,
Yogyakarta,
Antonio Muhammad Syafii, 2005, Bank
Syariah Dari Teori Ke Praktek, Gema Insani, Jakarta
HS Salim, 2006, Hukum Kontrak :
Teori Dan Tehnik Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta
Maftukhatusolikhah dan Rusyid, 2008,
Riba Dan Penyelesaian Sengketa Dalam Perbankan Syariah. Politea Press, Yogyakarta
Maksun, 2000, Problematika Aplikasi Produk
Pemikiran Hukum Islam, Mimbar Hukum
Mertokusumo Sudikno, 1999a, Hukum Acara Perdata
Indonesia, Liberty, Yogyakarta
Mertokusumo Sudikno , 1999b, Mengenal Hukum Suatu
Pengantar, Liberty, Yogyakarta
Perwataatmadja Karnaen, 2005, Bank
Dan Asuransi Islam Di Indonesia, Prenada Media, Jakarta
Taufik, 2007, Nadhariyyatu Al-Uqud Al-Syar’iyah,
LKis, Yogyakarta
Makalah Teori Ekonomi Makro Islam
Makalah
EKONOMI MAKRO ISLAM
TEORI PENAWARAN ISLAM
DosenPembimbing
Zakiyah,SE,MY.
Disusunoleh
Nama:Ahmad yulis
Nim: 11220000014
Semester: V HES
SEKOLAH TINNGGI AGAMA ISLAM MA’ARIF JAMBI
2013
A. URGENSI
PASAR DALAM MENETAPKAN HARGA
Pasar adalah sebuah mekanisme yang
dapat mempertemukan pihak penjual dan pembeli untuk melakukan transaksi atas
barang dan jasa, baik dalam bentuk produksi maupun penentuan harga.
Dalam sistem kapitlisme, pasar
mempunyai peran yang utama dalam menggerakkan roda kehidupan ekonomi. Pasar
merupakan elemen ekonomi yang dapat
mewujudkan kemaslahatan dan kesejahteraan hidup manusia.
Mekanisme pasar yang ada mempunyai peran yang cukup penting
dalam menggerakkan kegiatan ekonomi,khususnya dalam sistem kapitalisme. Namun
peran dan intervensi pemerintah sangat terbatas. Dalam sosialisme, yang terjadi
sebaliknya. Mekanisme yang ada sangat dipengaruhi oleh kebijakan dan langkah yang diambil oleh pemerintah.
Dalam konsep ekonomi klasik
(kapitalisme) , pasar akan dapat merealisasikan tujuan yang ada jika kondisi
pasar dalam keadaan perfect competition. Perfect competition baru dapat diraih apabila
dalam mekanisme pasar tersebut terdapat penjual dan pembeli dalam jumlah yang
sangat besar dan melakukan transaksi terhadap komoditas yang beragam serta
sempurnanya informasi dalam mekanisme pasar tersebut. Selain itu harus terdapat
kebebasan dalam melakukan transaksi atas segala komoditas dan tidak adanya entry-barrier
(hambatan masuk pasar) bagi penjual maupun pembeli.
Konsep mekanisme pasar yang
ditawarkan kapitalisme dalam perkembangannya telah menimbulkan monopoli pasar
dimana para penguasa dan pemilik modal mengendalikan harga sesuai Dengan
kebutuhan mereka. Dengan demikian, harga yang terbentuk dipasar bukanlah hasil
supply dan demand yang ada, melainkan ketentuan dari pemilik modal. Hal inilah
kemudian yang berdampak pada minimnya perfect competition (persaingan
sempurna) yang pada akhirnya
persaingan pasar pun menjadi tidak sehat.
B. PASAR
DALAM MENGALOKASIKAN SUMBER EKONOMI
Dalam
mekanisme pasar kapitalisme, pelaku pasar temotivasi oleh nilai-nilai
materialisme dan kecintaan terhadap sebuah komoditas. Sedangkan dalam sistem
ekonomi islam, pasar yang ada bersandarkan atas etika dan nilai-nilai syariah;
baik dalam bentuk perintah, larangan, anjuran, ataupun imbauan.
Pasar merupakan bagian penting dalam kehidupan seorang
muslim. Pasar dapat dijadikan sebagai katalisator hubungan transendental antara muslim dengan
Tuhannya. Dengan kata lain bertransaksi dalam pasar merupakan ibadah seorang
muslim dalam kehidupan ekonomi. Hal tersebut pernah dilakukan Rasullulah SAW
ketika hijrah ke Madinah di mana beliau banyak pergi kepasar untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya. Fenomena ini memancing pertanyaan bagi kaum Quraisy.
Allah SWT
berfirman : 7. dan mereka berkata:
"Mengapa Rasul itu memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar? mengapa
tidak diturunkan kepadanya seorang Malaikat agar Malaikat itu memberikan
peringatan bersama- sama dengan dia?,
Konsep dan
kaidah umum dalam sistem ekonomi islam yang bertujuan untuk memotivasi
bergairahnya kegiatan ekonomi melalui mekanisme pasar dan profit bukanlah
merupakan tujuan akhir dari kegiatan investasi ataupun bertransaksi.
Dalam konsep
profit, Al- Jaziri menjelaskan , “jual beli yang dilakukan manusia bertujuan
untuk mendapatkan profit dan sumber kecurangan bisa berasal dari laba yang di inginkan.
Setiap penjual dan pembeli berkeinginan untuk mendapatkan laba yang maksimal.
Syariah tidak melarang adanya laba dalam jual beli. Dan syariah juga tidak
membatasi laba yang harus dihasilkan. Akan tetapi, syariah hanya melarang adanya
penipuan, tindak kecurangan,melakukan kebohongan atas kebaikan barang, serta
menyembunyikan aib yang terdapat dalam suatu barang.”
Dalam proses
alokasi resources (sumber ekonomi), keputusan yang diambil tidak hanya
berdasarkan atas mekanisme pasar yang ada. Apabila bersandarkan atas meknisme
pasar, alokasi sumber-sumber ekonomi akan berrgantung pada kekuatan supply
and demand tanpa mempertimbangkan kemaslahatan masyarakat.
Dalam konsep
ekonomi islam, proses alokasi harus disesuaikan dengan nilai-nilai syariah dan
preferensi konsumen, yang keduanya
bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan hidup bersama
Oleh karena itu
alokasi tersebut harus mengakomodasi kebutuhan mayoritas masyarakat yang
disesuaikan dengan prefensi masyarakat dan kondisi pasar.
C.
ETIKA TRANSAKSI DALAM PASAR
Untuk menjaga hak-hak pelaku pasar dan
menghindari transaksi yang menyebabkan distorsi dalam pasar serta mendorong
pasar untuk mewujudkan kemaslahatan individu maupun masyarakat, dibutuhkan
suatu aturan dan kaidah-kaidah umum yang dapat dijadikan sebagai sandaran.
1.
Adil dalam takaran dan timbangan
Konsep
keadilan harus diterapkan dalam mekanisme pasar. Hal tersebut dimaksudkan unntuk
menghindari praktik kecurangan yang dapat mengakibatkan kezaliman bagi suatu
pihak.
1.
kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang[1561],
2. (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran
dari orang lain mereka minta dipenuhi,
3. dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk
orang lain, mereka mengurangi.
[1561] Yang dimaksud dengan orang-orang yang curang di
sini ialah orang-orang yang curang dalam menakar dan menimbang.
2. Larangan Mengkonsumsi Riba
Karena Allah mengancam akan
memberikan siksaan yang pedih bagi orang yang mengkonsumsi maupun yang
memberdayakan riba.
3. Kejujuran Dalam Bertransaksi
Apabila dalam barangdagangan
terdapat kerusakan dan penjual tidak memberikan penjelasan kepada pembeli, maka
penjual telah melakukan pelanggaran syariah.
4. Larangan Bai` An-Najasy
Bai` an-Najasy adalah transaksi
jual beli ketika si penjual menyuruh orang lain untuk memuji barangnya atau
menawar dengan harga tinggi agar orang lain tertarik pula untuk membeli. Yang
berimbas terjadinya false demand (permintaan palsu).
5. Larangan Talaqqi al-Wafidain
Rasulullah melarang untuk melakukan
talaqqi al-wafidain (menjemput penjual). Dalam arti, kita menjemput penjual
atas barang dagannya diluar kota sebelum penjual tersebut sampai dipasar.
Rasulullah Saw bersabda yang
diriwayatkan oleh Ibnu Umar, “janganlah kalian menjemput barang dagangan,
sehingga barang tersebut turun ke pasar.”(H.R.Muslim)
6. Larangan Menjual Barang yang Belum
Sempurna Kepemilikannya
Dalam ekonomi islam, proses
transaksi jual-beli suatu barang harus sempurna kepemilikannya. Dalam artian,
seseorang tidak boleh menjual suatu barang yang belum penuh kepemilikannya dan
masih dalam keterlibatan pihak lain.
7. Larangan Menimbun Harta (Ikhtikar)
Rasulullah Saw bersabda, “barang
siapa melakukan ikhtikar dengan bertujuan untuk menaikkan harga atas kaum
muslimin maka orang itu berdosa, dan dia telah bebas dari dzimmah (tanggungan)
Allah dan Rasul-Nya.”
8. Konsep Kemudahan dan Kerelaan Dalam
Pasar
Setiap transaksi yang kita lakukan
harus mencerminkan keridhaan dan kerelaan masing-masing pihak dalam menentukan
beberapa kesepakatan dalam bertransaksi.
Selain aturan-aturan yang telah
dijelaskan diatas,ada beberapa etika yang harus dipegang oleh seorang muslim
ketika melakukan transaksi dalam sebuah pasar.
a.
Jangan
melakukan transaksi atas sebuuah transaksi yang telah dilakukan oleh orang
lain, dan jangan melakukan intervensi atas transaksi yang telah dilakukan orang
lain.
b.
Jangan
menjadi orang yang tamak akan harta benda.
c.
Menanamkan
akhlak yang mulia dalam kehidupan.
d.
Perlakukanlah
orang lain seperti kita melakukan sesuatu untuk diri kita sendiri.
e. Kembangkanlah ukhuwah dan jangan sampai
menimbulkan kemudharatan bagi kehidupan masyarakat.
D.
PENETAPAN HARGA DALAM EKONOMI ISLAM
Realisasi
terhadap berbagai aturan transaksi yang telah dijelaskan , diharapkan akan
terbentuk pasar yang ideal, yaitu sebuah pasar yang mendatangkan kemaslahatan
bagi para pelaku pasar itu sendiri. Dalam perkembangannya, pemerintah mempunyai
hak untuk melakukan intervensi dalam menetapkan harga. Kendatipun hal ini masih
dalam polemik, tetapi sangat tergantung pada kondisi dan situasi pasar yang
berkembang saat itu.
1. Larangan
Intervensi Harga
Ada ulama fiqh yang melarang adanya
intervensi harga, diantaranya adalah Ibnu hazam dan Ibnual- Atsir. Menurut kedua
ulama tersebut, pelarangan tehadap intervensi harga mengacu pada hadist
Rasulullah Saw. Suatu kali masyarakat datang kepada Rasulullah untuk meminta
beliau menurunkan harga-harga yang ada dipasar, karena pada saat itu
harga-harga barang melonjak tinggi. Akan tetapi Rasulullah menolak melakukan
penurunan harga. Beliau bersabda, “sesungguhnya
Allah-lah yang telah menetapkan harga.”
2. Pembolehan
dan Kewajiban Melakukan Intervensi Harga
Penolakan Rasulullah atas intervensi
dikarenakan tidak adanya kebutuhan untuk melakukan hal tersebut atau
kemungkinan akan timbul kezaliman bagi para pedagang. Ibnu Timiyah menjelaskan,
penduduk madinah pada saat itu belum membutuhkan adanya intervensi. Ada kalanya
kenaikan harga disebabkan faktor eksternal yang bukan merupakan kehendak para
penjual. Ibnu Taimiyah membolehkan intervensi dalam keadaan tertentu. Sepintas
pendapatnya ini bertentangan dengan sikap Rasulullah yang menolak intervensi.
Namun, sebenarnya pendapat Ibnu Taimiyah justru menjabarkan hadist Rasulullah
Saw, bahwa seharusnya harga terjadi secara rela sama rela pada saat penawaran
bertemu permintaan.
3. Pelarangan
Ikhtikar (penimbunan)
Ikhtikar adalah menahan (menimbun)
sebuah komoditas dari penjualan dan peredaran pasar dengan tujuan tertentu.
Dalam hal ini penimbunan akan
dilarang jika menemui kendala sebagai berikut :
a. Komoditas
yang ditimbun merupakan kebutuhan pokok yang berdampak pada inflasi dan
kemudharatan jika tertahannya komoditas tersebut.
b. Adanya
interval waktu untuk menunggu kenaikan harga
yang diikuti dengan kebutuhan masyarakat atas komoditas tersebut.
c. Komoditas
yang ditahan merupakan barang yang sedang diminati oleh masyarkat.
4. Kewajiban
Intervensi Harga dengan Sadd adz-Dzara`i`
Sadd adz-Dzara`i’ merupakan sebuah
dalil yang dapat digunakan sebagai landasan untuk mengetahui suatu hukum. Sadd
adz-Dzara`i’ juga dapat dijadikan sebagai hukum dalam suatu perkara yang dapat
mendatangkan kerusakan (mafsadah) sehingga perkara itu berkembang
menjadi sesuatu yang diharamkan dalam pelaksanaanya.
5. Konsep
Maslahah
Maslahah merupakan dalil hukum yang
dapat digunakan untuk melakukan penetapan hukum terhadap suatu perkara. Seperti
yang telah kita ketahui, bahwa tujuan
intervensi harga oleh pemerintah adalah dalam rangka mewujudkan maslahat bagi
kehidupan masyarakat. Dan ketika pemerintah memandang hal tersebut sebagai
suatu kemaslahatan maka saat itu pula intervensi dapat dijalankan. Ada beberapa
kondisi yang memperbolehkan adanya tas`ir (penetapan harga), seperti
dalam waktu perang,musim panceklik, dan lain sebagainya.
Allah Swt berfirman :
90. Sesungguhnya Allah menyuruh
(kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan
Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi
pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.
Berdasarkan penjelasan diatas , ada
beberapa poin yang harus dipahami, yaitu:
a. Pada
dasarnya penentuan harga sebuah komoditas berdasarkan atas asas kebebasan.
Harga yang terbentuk merupakan hasil pertemuan antara permintaan dan penawaran
dengan asumsi pasar berjalan dengan normal.
b. Dalam
kondisi tertentu, pemerintah boleh melakukan intervensi harga. Seperti
terjadinya penimbunan, adanya kolusi di antara penjual ataupun pembeli dan
distorsi pasar.
c. Intevensi
yang dilakukan bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan bagi kehidupan
masyarakat.
d. Harga
yang ditetapkan harus berdasarkan prinsip keadilan bagi semua pihak dan tidak
diperbolehkan adanya pihak yang dirugikan.
E.
HARGA EKUILIBRIUM
Equilibrium
price (harga yang adil) perspektif
ekonomi islam adalah harga yang tidak menimbulkan dampak negatif
(bahaya) ataupun kerugian bagi pelaku pasar; baik dari sisi penjual maupun
pembeli.
Dalam
hal ini ibnu Taimiyah berpendapat, “apabila harga yang terbentuk tidak
merefleksikan kerelaan masing-masing pihak dan tidak terdapat persentase
keuntungan tertentu, maka hal tersebut akan menyebabkan rusaknya sebuah harga
dan dapat merugikan kekayaan manusia.”
Mewujudkan
sebuah harga yang adil harus memperhatikan berbagai macam aspek dan elemen para
pelaku pasar; baik biaya produksi, kebutuhan masyarakat, maupun sumber ekonomi
dan berbagai unsur yang dapat menciptakan keadilan suatu harga.
F.
PENGAWASAN PASAR
Untuk
menjaga keberlangsungan pasar secara normal dan tetap dapat mewujudkan kemaslahatan
hidup bermasyarakat, diperlukan suatu lembaga yang mengawasi kegiatan secara
optimal. Lembaga tersebut berkewajiban mengamati mekanisme pasar dan menjaganya
dari praktik penimbunan,penipuan,praktik ribawi, serta tindakan yang dapat
menyebabkan terjadinya distorsi pasar.
Praktik
pengawasan telah dicontohkan oleh Rasulullah dengan terjun langsung kepasar.
Dalam operasionalnya, beliau mengelilingi pasar dengan melakukan pembenahan
tehadap berbagai tindak penyimpangan yang terjadi di dalamnya. Dalam sebuah
riwayat dijelaskan tindak kecurangan dan manipulasi dalam pasar dilanjutkan
oleh Khulafa ar-Rasyidin dengan mendirikan suatu lembaga , yaitu al-Hisbah.
Lembaga
ini menuntut beberapa persyaratan yang harus dipenuhi dan dimiliki oleh
pelaksana hariannya, yaitu :
1. Memiliki
unsur keimanan yang kuat,
2. Memiliki
kemampuan untuk melakukan amar ma`ruf nahi munkar,
3. Menguasai
pengetahuan tentang syariah secara luas demi pembentukan suatu hukum yang
komprehensif,
4.
Memiliki kemampuan untuk menegakkan keadilan dan
kesejahteraan masyarakat.
Langganan:
Postingan (Atom)