HUJAN

Minggu, 26 Januari 2014

kata-kata Bapak

Pernah tidak kalian merasakan yang namanya jenuh.
rasa yang bikin hari-hari kita itu jadi malas aja bawaannya.
kalau gue pernah tu coy.
bawaannya pengen tidur aja kagak mau buat aktivitas, padahal tu kerjaaan masih numpuk abis coy.
sampai suatu ketika bapak gue nelpon sebenarnya cuma pembicaraan sebatas ingin tahu apa kabarnya disana. maklum gue ini kan perantauan coy. bapak sama mamak sama adek cewek ada dikampung satu lagi saudara laki-laki gue yakni abang sekarang merantau jauh di ibukota Jakarta. kapan-kapan lah gue ceritain semua keluarga-keluarga gue coy, kali ini kita bahas masalah jenuh ini dulu, jenuh disini bukan yang ada dalam mata pelajaran tu coy titik jenuh sekian persen, bukan. jenuh disini rasa bosan rasa malas mau bikin apa-apa, gitu.
lanjut coy ke yang pas bapak gue nelpon tadi. jadi pas bicara ini itu maksudnya tanya kabar,makan,keluarga yang lain dll lah coy. akirnya terakhir bapak gue berikan suatu motivasi yang sedikit menyentuh dan membuat otak ini mempelajarinya coy, apa tu kata-katanya, ini dia coy
beliau berkata, Lis (panggilan gue sma bapak) mumgkin saat ini awak lagi malas,lagi lesu, tapi tetaplah beraktivitas nak karna MUNGKIN ADA ORANG YANG DI LUAR SANA YANG SANGAT INGIN SEKALI PEKERJAAN YANG KAMU JALANI  SAAT INI.
entu dia coy walaupun cuma macam tu tapi otak ini mencernanya lebih jauh lagi.
maksudya adalah kita yang bosan dengan keadaan kita saat ini berpikirlah bahwa di luar sana ada yang lebih susah lagi pekerjaannya jika dibandingkan dengan pekerjaan kita mungkin jika diajak bertukar pekerjaan atau bertukar keadaan dia akan memilih keadaan kita ini walaupun dengan membayar.
syukuri lah coy keadaan kita saat ini okeh.
sekian dulu dari gue coy
salam semangat!!!

Sabtu, 25 Januari 2014

makalah prosedur penyelesaian sengketa bisnis syariah



KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapakan kehadiran Allah Yang Maha Esa karena berkat rahmatNya karya tulis dengan judul “PROSEDUR PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS SYARIAH ”, dapat penulis selesaikan dengan baik.
Penulis menyadarai bahwa karya tulis ini masih terdapat kekurangan, baik dari aspek sistematika penulisan, maupun dari aspek bahasa yang digunakan. Oleh karena itu, semua saran dan kritikan yang bertujuan memperbaiki karya tulis ini, penulis terima dengan senang hati. Dan semoga karya tulis ini bermanfaat bagi penulis sendiri maupun bagi para pembaca. Penulis juga mohon maaf jika ada kesalahan kata-kata yang tidak berkenan di hati pembaca dan jika ada kebenarannya maka itu datanganya dari Allah SWT semata-mata. Amin... Ya Rabbal Alamin.





Jambi,   september 2013



                    penulis


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................................................... 1


BAB II

PEMBAHASAN
A.    Penyelesaian Melalui Proses Persidangan (Litigasi)................................................ 4
  1. Prinsip utama dalam menangani perkara perbankan syariah ................................... 6
  2. Prosedur Pemeriksaan Perkara Perbankan Syariah ................................................. 8
1.      Pemeriksaan di Persidangan Sesuai Hukum Acara Perdata ............................. 8
2.      Sumber-sumber HUkum Materiil
dalam mengadili Perkara Perbankan Syariah........................................................... 9


DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................... 12












PEMBAHASAN

Peradilan agama sebagai salah satu badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman untuk menegakkan hukum dan keadilan bagi orang-orang yang beragama islam, yang sebelumnya berdasarkan Undang-undang nomor 7 tahun 1989, sekarang berdasarkan Pasal 49 huruf I undang-undang nomor 3 tahun 2006 yang dimaksud dengan ekonomi syariah. Berdasarkan penjelasan pasal 49 huruf I undang-undang nomor 3 tahun 2006 yang dimaksud dengan ekonomi syariah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah, meliputi : a. bank syariah, b. asuransi syariah, c. reasuransi syariah, d. reksadana syariah, e. obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah, f. sekuritas syariah, g. pembiayaan syariah, h. pegadaian syariah, i. dana pensiun lembaga keuangan syariah, j. bisnis syariah, dan k. lembaga keuangan mikro syariah.
Penerapan prinsip syariah dalam dalam penyelesaian sengketa menjadi lebih sulit ketika harus diselesaikan melalui lembaga pengadilan, karena sebelumnya sesuai dengan ketentuan UU No. 2 Tahun 1986 sengketa dalam bidang perbankan syariah tersebut termasuk dalam ruang lingkup kewenangan absolute lingkungan peradilan umum. Dalam hal ini persoalannya bukan hanya menyangkut hakim peradilan umum yang belum tentu menguasai masalah ekonomi syariah tetapi lebih dari itu peradilan umum tidak menggunakan sayariah islam sebagai landasan hukum dalam menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan kepadanya.
Dengan masuknya sengketa bidang perbankan syariah dalam kewenangan absolute lingkungan peradilan agama didasarkan pada UU No. 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas UU No 7 Tahun 1989 tentang peradilan agama, yang kemudian disusul dengan UU No. 21 Tahun 2008 tentang perbankan syariah.





Luasnya cakupan bidang hukum yang terkait dengan bidang perbankan syariah tersebut membuat tidak tertutup kemungkinan  terjadinya titik singgung atau persentuhan kewenangan mengadili yang dapat berakibat tidak adanya ketertiban dan kepastian dalam penegakan hukum atau maksudnya tidak adanya kejelasan hukum. Dibawah ini saya akan memberikan beberapa contoh penyelesaian masalah-masalah yang berhubungan dengan perbankan syariah atau setidaknya masalah-masalah syariah.

A.    Penyelesaian Melalui Proses Persidangan (Litigasi)
Sebagaimana lazimnya dalam menangani setiap perkara yang diajukan kepadanya, hakim selalu dituntut mempelajari terlebih dahulu perkara tersebut secara cermat untuk mengetahui substansinya serta ikhwal yang senantiasa ada menyertai substansi perkara tersebut. Hal ini perlu dilakukan guna menentukan arah jalannya pemeriksaan perkara tersebut dalam proses persidangan nantinya. Untuk itu hakim harus sudah mempunyai resume tentang perkara yang ditanganinya sebelum dimulainya proses pemeriksaan dipersidangan. Berkaitan dengan hal tersebut, dalm hal memeriksa perkara ekonomi syariah khususnya perkara perbankan syariah ada beberapa hal penting yang harus dilakukan terlebih dahulu antara lain yaitu :
1.      Pastikan lebih dahulu perkara tersebut bukan perkara perjanjian yang mengandung klausula arbitrase.( Klausula  adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan / atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen, klausula  aturan sepihak yang dicantumkan dalam kuitansi, faktur / bon, perjanjian atau dokumen lainnya dalam transaksi jual beli tidak boleh merugikan konsumen.sedangkan  Klausula arbitrase adalah suatu klausula dalam perjanjian antara para pihak yang mencantumkan adanya kesepakatan untuk menyelesaiakan sengketa yang timbul antara para pihak melalui proses arbitrase.)
Pentingnya memastikan terlebih dahulu apakah perkara tersebut termasuk sengketa perjanjian yang mengandung klausula arbitrase atau bukan, tidak lain dimaksudkan agar jangan sampai pengadilan agama yang memeriksa dan mengadili perkara yang ternyata di luar jangkauan kewenangan absolutnya. Sementara pemeriksaan terhadap perkara tersebut sudah berjalan sedemikian rupa, atau bahkan sudah diputus.
Kewenangan absolut lingkungan peradilan agama tidak menjangkau sengketa atau perkara perjanjian yang didalamnya terdapat klausula arbitrase. Oleh karena itu, hal ini sangat penting untuk diperhatikan dan dipastikan terlebih dahulu sebelum proses pemeriksaan perkara tersebut berjalan lebih jauh. Bahkan seharusnya hal ini dilakukan sebelum mengpayakan perdamaian bagi para pihak. Jika perkara tersebut merupakan sengketa perjanjian yang mengandung klausula arbitrase, maka tdak perlu lagi hakim melanjutkannya dengan mengupayakan perdamaian karena jelas perkara tersebut tidak termasuk wewenang absolute lingkungan peradilan agama. Termasuk dalam hal mengupayakan perdamaiannya, pengadilan agama tidak berwenang.
Perkara yang mengandung klausula arbitrase adalah jika dalam perjanjian tersebut terdapat klausula yang pada prinsipnya menyatakan bahwa apabila terjadi perselisihan atau sengketa (disputes) di antara mereka mengenai perjanjian tersebut akan diselesaikan dengan cara melalui suatu badan arbitrase yang telah mereka tentukan, berarti perjanjian tersebut jelas mengandung apa yang dinamakan dengan klausula arbitrase.
Adapun sikap yang tepat bagi pengadilan agama, jika perkara tersebut merupakan sengketa perjanjian yang mengandung klausula arbitrase sebelum memeriksanya lebih jauh adalah menjatuhkan putusan negative berupa pernyataan hukum yang menyatakan bahwa pengadilan agama tidak berwenang memeriksa dan mengadili perkara tersebut.
2.      Pelajari secara cermat perjanjian (akad) yang mendasari kerjasama antarpara pihak .
    Setelah dipastikan bahwa perkara perbankan syariah yang ditangani tersebut bukan merupakan perkara perjanjian yang mengandung klausula arbitrase, lalu dilanjutkan dengan upaya perdamaian bagi para pihak. Selanjutnya apabila upaya damai ternyata tidak berhasil, hal penting lainnya yang harus dilakukan adalah mempelajari lebih jauh perjanjian atau akad yang mendasari kerjasama para pihak yang menjadi sengketa tersebut.
Adapun hukum perjanjian yang dapat dijadikan acuan dalam hal ini, baik yang diatur dalam KUHPerdata dari Pasal 1233 sampai Pasal 1864 yang disebut dengan perjanjian nominaat maupun hukum perjanjian yang tidak diatur dalam KUHPerdata, seperti kontrak production sharing, kontrak join venture, kontrak karya, leasing, beli sewa, franchise, kontrak rahim dan lain lain yang disebut dengan perjanjian innominaat, yakni perjanjian yang timbul, tumbuh, hidup, dan berkembang dalam praktik kehidupan masyarakat.
Ketentuan-ketentuan hukum perjanjian tersebut dalam penerapannya tentu saja harus relevan dengan ketentuan-ketentuan hukum perjanjian dalam islam baik yang diatur dalam Al-Quran, As-Sunnah atau pendapat ulama dibidang tersebut. Dengan perkataan lain dalam hal ketentuan-ketentuan perjanjian tersebut ternyata dalam penerapannya bertentangan dengan ketentuan-ketentuan hukum islam, maka hakim harus mengutamakan ketentuan-ketentuan hukum islam.
B.     Prinsip utama dalam menangani perkara perbankan syariah
Adapun prinsip utama yang harus benar-benar dipahami dan diperhatikan dalam menangani perkara perbankan syariah khususnya dan bidang perkara ekonomi syariah pada umumnya bahwa dalam proses penyelesaian perkara tersebut sama sekali tidak boleh bertentangan dengan prinsip syariah. Hal ini jelas merupakan prinsip fundamental dalam menangani dan menyelesaikan perkara perbankan syariah di pengadilan agama karena perbankan syariah seperti di tegaskan Pasal 1 ayat (7) jo. UU No. 21 Tahun 2008 dalam menjalankan kegiatan usahanya tidak lain berdasarkan prinsip syariah. Oleh karena itu, jika terjadi sengketa berkaitan dengan kegiatan usaha tersebut jelas tidak mungkin diselesaikan dengan cara cara yang justru bertentangan dengan prinsp syariah.
Hal ini penting diingatkan dan dipahami karena seperti diketahui hukum formil, dan bahkan mungkin sebagian hukum materil, dalam hal ini seperti HIR/R.Bg, RV dan KUHPerdata, yang akan digunakan dalam menyelesaikan sengketa perbankan syariah di lingkungan peradilan agama, pada awalnya memang bukan dibuat dengan tujuan untuk menegakkan dan melindungi hukum materil islam.
Oleh karena itu, meskipun ketentuan-ketentuan hukum tersebut secara umum tidak banyak yang bertentangan dengan hukum islam, tetapi tidak mustahil masih ada bagian-bagian dari ketentuan-ketentuan tersebut yang apabila diterapkan apa adanya justru akan bertentangan atau dianggap tidak relevan dengan prinsip syariah yang menjadi dasar perbankan syariah dalam menjalankan segala aktivitasnya sehingga hal itu menimbulkan persoalan baru.
Dalam penyelsaian sengketa perbankan syariah di pengadilan agama, hakim dalam hal ini harus berhati-hati. Sebab, meskipun mengenai hal ini sudah ada fatwanya, yaitu fatwa No. 17/DSN-MUI/IX/2000 Tentang Sanksi Atas Nasabah Mampu yang Menunda-nunda Pembayaran, namun keabsahan hukumnya hingga saat ini dikalangan ulama masih kontroversial.
Disatu sisi pihak terdapat ulama-ulama yang menentang pemberian sanksi berupa denda sejumlah uang terhadap keterlambatan tersebut karena sanksi semacam itu dianggap mengandung unsur riba yang secara qat’I dilarang syara,, sementara hal mendasar yang membedakan bank syariah dengan bank konvensional justru unsur yang mengandung riba itu sendiri. Dipihak lain, terdapat ulama yang mendukung pemberian sanksi semacam itu terhadap nasabah tersebut karena beralasan untuk menegakkan maqasid asy-syariah. Berkaitan dengan hal itu jika dihadapkan dengan kasus-kasus semacam itu hakim dituntut berhati-hati dan secermat mungkin agar putusan yang dijatuhkan tidak bertentangan dengan prinsip syariah sehingga justru menimbulkan persoalan baru bagi para pencari keadilan khususnya dan bagi masyarakat pada umumnya
C. Prosedur Pemeriksaan Perkara Perbankan Syariah
1.      Pemeriksaan di Persidangan Sesuai Hukum Acara Perdata
Apabila upaya penyelesaian melalui perdamaian tidak berhasil, dimana kedua belah pihak ternyata tidak mememui kata sepakat untuk menyelesaiakan perkaranya secara damai maka sesuai dengan ketentuan Pasal 115 R.Bg atau Pasal 131 HIR ayat (1) dan (2) jo. Pasal 18 ayat (2) PERMA hakim harus melanjutkan pemeriksaan perkara tersebut sesuai dengan ketentuan hukum acara yang berlaku. Dengan demikian, perkara tersebut akan diperiksa dan diselesaikan melalui proses persidangan sebagaimana mestinya.
(baru sampai sini dibaca dan dikoreksi)
Penyelesaian perkara perbankan syariah dilingkungan peradilan agama akan dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum acara perdata sebagaimana yang berlaku di lingkungan peradilan umum. Artinya, setelah upaya damai ternyata tidak berhasil maka hakim melanjutkan proses pemeriksaan perkara tersebut di persidangan sesuai dengan ketentuan hukum acara perdata yang dimaksud. Dengan dmikian dalam hal ini proses pemeriksaan perkara tersebut akan berjalan sebagaimana lazimnya proses pemeriksaan perkara tersebut akan berjalan sebagaimana lazimnya proses pemeriksaan perkara perdata di pengadilan yang secara umum akan dimulai dengan pembacaan surat gugatan penggugat, lalu disusul dengan proses jawab menjawab yang akan diawali dengan jawaban dari pihak tergugat, kemudian replik penggugat, dan terakhir duplik dari pihak tergugat.
Setelah proses jawab menjawab tersebut selesai, lalu persidangan dilanjutkan dengan acara pembuktian. Pada tahap pembuktian ini kedua pihak berperkara masing-masing mengajukan bukti-buktinya guna mendukung dalil-dalil yang telah dikemukakan dipersidangan. Setelah masing-masing pihak mengajukan bukti-buktinya, lalu tahap berikutnya adalah kesimpulan dari para pihak yang merupakan tahap akhir dari proses pemeriksaan perkara di persidangan.
Setelah seluruh tahap pemeriksaan perkara dipersidangan selesai, hakim melanjutkan kerjanya untuk mengambil putusan dalam rangka mengadili atau memberikan keadilan daam perkara tersebut. Untuk itu tindakan selanjutnya yang harus dilakukan hakim dalam memeriksa dan mengadili perkara tersebut adlah melakukan konstatir, mengkualifisir, dan mengkonstituir guna menenmukan hukum dan menegakkan keadilan atas perkara tersebut untuk kemudian disusun dalam suatu putusan (vonis) hakim.

2.      Sumber-sumber HUkum Materiil dalam mengadili Perkara Perbankan Syariah
Dalam mengadili perkara, hakim mencari hukumnya dari sumber-sumber yang sah dan menafsirkannya, untuk kemudian diterapkan pada fakta atau peristiwa konkrit yang ditemukan dalam perkara tersebut. Sumber-sumber hukum yang sah dan diakui secara umum, khususnya di bidang bisnis adalah isi perjanjian, undang-undang,yurisprudensi, kebiasaan, perjanjian internasional, dan ilmu pengetahuan. Adapun bagi lingkungan peradilan agama, sumber-sumber hukum yang terpenting untuk dijadikan dasar dalam mengadili perkara-perkara perbankan syariah setelah Al-Quran dan AS-Sunnah sebagai sumber utama, antara lain adalah :


a.       Isi perjanjian atau akad (agreement) yang dibuat para pihak.
Dijadikannya isi perjanjian atau akad, yang dibuat para pihak sebagai salah satu sumber hukum untuk dijadikan dasar dalam mengadili perkara perbankan syariah tidak terlepas dari kedudukan perjanjian atau akad itu sendiri yang berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya sebagaimana digariskan Pasal 1338 sampai dengan Pasal 1349 KUHPerdata.
b.      Peraturan Perundang-undangan di bidang perbankan syariah
Adapun peraturan perundang-undangan yang dapat dijadikan sebagai sumber hukum dalam mengadili perkara perbankan syariah antara lain adalah :
1.      UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan
2.      UU No. 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia
3.      UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
4.      UU No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan
5.      PBI No. 6/24/PBI/2004 Tanggal 14 Oktober 2004 tentang Bank Umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah
6.      PBI No. 6/17/PBI/2004 tanggal 1 Juli 2004 tentang Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah
7.      SK Direksi Bank Indonesia No. 21/48/Kep./Dir/1988 tentang sertifikat deposito
8.      SE. Bank Indonesia No. 28/32/UPG tanggal 4 juli 1995 tentang Bilyet Giro
9.      Berbagai surat Keputusan dan Surat Edaran Bank Indonesia lainnya yang berkaitan dengan kegiatan usaha Perbankan Syariah.  
c.       Kebiasaan-kebiasaan di bidang ekonomi syariah
Untuk dapat dijadikan sebgai sumber hukum guna dijadikan dasar dalam mengadili perkara perbankan syariah, kebiasaan dibidang ekonomi syariah itu haruslah mempunyai paling tidak tiga syarat yaitu :
1.      Perbuatan itu dilakukan oleh masyarakat tertentu secara berulang-ulang dalam waktu yang lama (longa et invetarata consuetindo)
2.      Kebiasaan itu sudah merupakan keyakinan hukum masyarakat (opinion necessitates); dan
3.      Adanya akibat hukum apabila kebiasaan itu dilanggar.
Apabila kebiasaan dibidang ekonomi syariah mempunyai tiga syarat tersebut, maka dapat dijadikan sumber hukum sebagai dasar dalam mengadili perkara perbankan syariah.
d.      Fatwa-Fatwa Dewan Syariah Nasional di Bidang Perbankan Syariah
Fatwa-fatwa DSN yang dapt dijadikan sumber hukum dalam mengadili perkara perbankan syariah adalah meliputi seluruh fatwa DSN di bidang perbankan syariah. Seperti diketahui fatwa tidak lain adalah merupakan produk pemikiran hukum islam yang bersifat kasuistik yang umumnya merupakan respons atas pertanyaan yang diajukan peminta fatwa. Pada dasarnya fatwa memang tidak memiliki daya ikat, baik terhadap peminta fatwa sendiri lebih lebih terhadap pihak lain.  Namun dalam mengadili perkara perbankan syariah di pengadilan agama, khususnya fatwa DSN di bidang perbankan syariah, tampaknya mempunyai kedudukan dan perlu diperlakukan tersendiri.
e.       Yurisprudensi
Yurisprudensi yang dapat dijadikan sumber hukum sebagai dasar mengadili perkara perbankan syariah dalam hal ini adalah yurisprudensi dalam arti putusan hakim tingkat pertama dan tingkat banding yang telah berkekuatan hukum tetap. Dan dibenarkan oleh Mahkamah Agung, atau putusan Mahkamah Agung itu sendiri yang telah berkekuatan hukum tetap, khususnya di bidang Perbankan syariah.
f.       Doktrin
Doktrin yang dapat dijadikan sebagai salah satu sumber hukum dalam mengadili perkara-perkara perbankan syariah tersebut adlah pendapat-pendapat para pakar hukum islam yang terdapat dalam kitab kitab fikih.



DAFTAR PUSTAKA
Anshori  Abdul Gofur, 2009,  Perbankan Syariah Di Indonesia, Gajah Mada University Press, Yogyakarta,
Antonio Muhammad Syafii, 2005, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktek, Gema Insani, Jakarta
HS Salim, 2006, Hukum Kontrak : Teori Dan Tehnik Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta
Maftukhatusolikhah dan Rusyid, 2008, Riba Dan Penyelesaian Sengketa Dalam Perbankan Syariah. Politea Press, Yogyakarta
Maksun, 2000, Problematika Aplikasi Produk Pemikiran Hukum Islam, Mimbar Hukum
Mertokusumo Sudikno, 1999a, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta
Mertokusumo Sudikno , 1999b, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta
Perwataatmadja Karnaen, 2005, Bank Dan Asuransi Islam Di Indonesia, Prenada Media, Jakarta
Taufik, 2007, Nadhariyyatu Al-Uqud Al-Syar’iyah, LKis, Yogyakarta




Makalah Teori Ekonomi Makro Islam



                                   Makalah
EKONOMI MAKRO ISLAM
TEORI PENAWARAN ISLAM








DosenPembimbing
Zakiyah,SE,MY.
Disusunoleh
Nama:Ahmad yulis
Nim: 11220000014
                                              Semester:  V HES



SEKOLAH TINNGGI AGAMA ISLAM MA’ARIF JAMBI
2013











A.      URGENSI PASAR DALAM MENETAPKAN HARGA
         
         Pasar adalah sebuah mekanisme yang dapat mempertemukan pihak penjual dan pembeli untuk melakukan transaksi atas barang dan jasa, baik dalam bentuk produksi maupun penentuan harga.
Dalam sistem kapitlisme, pasar mempunyai peran yang utama dalam menggerakkan roda kehidupan ekonomi. Pasar merupakan elemen ekonomi  yang dapat mewujudkan kemaslahatan dan kesejahteraan hidup manusia.
Mekanisme pasar  yang ada mempunyai peran yang cukup penting dalam menggerakkan kegiatan ekonomi,khususnya dalam sistem kapitalisme. Namun peran dan intervensi pemerintah sangat terbatas. Dalam sosialisme, yang terjadi sebaliknya. Mekanisme yang ada sangat dipengaruhi oleh kebijakan dan langkah  yang diambil oleh pemerintah.
Dalam konsep ekonomi klasik (kapitalisme) , pasar akan dapat merealisasikan tujuan yang ada jika kondisi pasar dalam keadaan perfect competition.  Perfect competition baru dapat diraih apabila dalam mekanisme pasar tersebut terdapat penjual dan pembeli dalam jumlah yang sangat besar dan melakukan transaksi terhadap komoditas yang beragam serta sempurnanya informasi dalam mekanisme pasar tersebut. Selain itu harus terdapat kebebasan dalam melakukan transaksi atas segala komoditas dan tidak adanya entry-barrier (hambatan masuk pasar) bagi penjual maupun pembeli.
Konsep mekanisme pasar yang ditawarkan kapitalisme dalam perkembangannya telah menimbulkan monopoli pasar dimana para penguasa dan pemilik modal mengendalikan harga sesuai Dengan kebutuhan mereka. Dengan demikian, harga yang terbentuk dipasar bukanlah hasil supply dan demand yang ada, melainkan ketentuan dari pemilik modal. Hal inilah kemudian yang berdampak pada minimnya perfect competition (persaingan sempurna)  yang pada akhirnya persaingan pasar pun menjadi tidak sehat.

B.      PASAR DALAM MENGALOKASIKAN SUMBER EKONOMI
       
        Dalam mekanisme pasar kapitalisme, pelaku pasar temotivasi oleh nilai-nilai materialisme dan kecintaan terhadap sebuah komoditas. Sedangkan dalam sistem ekonomi islam, pasar yang ada bersandarkan atas etika dan nilai-nilai syariah; baik dalam bentuk perintah, larangan, anjuran, ataupun imbauan.
Pasar merupakan bagian penting dalam kehidupan seorang muslim. Pasar dapat dijadikan sebagai katalisator  hubungan transendental antara muslim dengan Tuhannya. Dengan kata lain bertransaksi dalam pasar merupakan ibadah seorang muslim dalam kehidupan ekonomi. Hal tersebut pernah dilakukan Rasullulah SAW ketika hijrah ke Madinah di mana beliau banyak pergi kepasar untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Fenomena ini memancing pertanyaan bagi kaum Quraisy.
Allah SWT berfirman : 7. dan mereka berkata: "Mengapa Rasul itu memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar? mengapa tidak diturunkan kepadanya seorang Malaikat agar Malaikat itu memberikan peringatan bersama- sama dengan dia?,

Konsep dan kaidah umum dalam sistem ekonomi islam yang bertujuan untuk memotivasi bergairahnya kegiatan ekonomi melalui mekanisme pasar dan profit bukanlah merupakan tujuan akhir dari kegiatan investasi ataupun bertransaksi.
Dalam konsep profit, Al- Jaziri menjelaskan , “jual beli yang dilakukan manusia bertujuan untuk mendapatkan profit dan sumber kecurangan bisa berasal dari laba yang di inginkan. Setiap penjual dan pembeli berkeinginan untuk mendapatkan laba yang maksimal. Syariah tidak melarang adanya laba dalam jual beli. Dan syariah juga tidak membatasi laba yang harus dihasilkan. Akan tetapi, syariah hanya melarang adanya penipuan, tindak kecurangan,melakukan kebohongan atas kebaikan barang, serta menyembunyikan aib yang terdapat dalam suatu barang.”
Dalam proses alokasi resources (sumber ekonomi), keputusan yang diambil tidak hanya berdasarkan atas mekanisme pasar yang ada. Apabila bersandarkan atas meknisme pasar, alokasi sumber-sumber ekonomi akan berrgantung pada kekuatan supply and demand tanpa mempertimbangkan kemaslahatan masyarakat.
Dalam konsep ekonomi islam, proses alokasi harus disesuaikan dengan nilai-nilai syariah dan preferensi  konsumen, yang keduanya bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan hidup bersama
Oleh karena itu alokasi tersebut harus mengakomodasi kebutuhan mayoritas masyarakat yang disesuaikan dengan prefensi masyarakat dan kondisi pasar.

C.                  ETIKA TRANSAKSI DALAM PASAR

        Untuk menjaga hak-hak pelaku pasar dan menghindari transaksi yang menyebabkan distorsi dalam pasar serta mendorong pasar untuk mewujudkan kemaslahatan individu maupun masyarakat, dibutuhkan suatu aturan dan kaidah-kaidah umum yang dapat dijadikan sebagai sandaran.
1.       Adil dalam takaran dan timbangan
Konsep keadilan harus diterapkan dalam mekanisme pasar. Hal tersebut dimaksudkan unntuk menghindari praktik kecurangan yang dapat mengakibatkan kezaliman bagi suatu pihak.
1. kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang[1561],
2. (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi,
3. dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi.

[1561] Yang dimaksud dengan orang-orang yang curang di sini ialah orang-orang yang curang dalam menakar dan menimbang.

2.      Larangan Mengkonsumsi Riba
Karena Allah mengancam akan memberikan siksaan yang pedih bagi orang yang mengkonsumsi maupun yang memberdayakan riba.
3.      Kejujuran Dalam Bertransaksi
Apabila dalam barangdagangan terdapat kerusakan dan penjual tidak memberikan penjelasan kepada pembeli, maka penjual telah melakukan pelanggaran syariah.
4.      Larangan Bai` An-Najasy
Bai` an-Najasy adalah transaksi jual beli ketika si penjual menyuruh orang lain untuk memuji barangnya atau menawar dengan harga tinggi agar orang lain tertarik pula untuk membeli. Yang berimbas terjadinya false demand (permintaan palsu).
5.      Larangan Talaqqi al-Wafidain
Rasulullah melarang untuk melakukan talaqqi al-wafidain (menjemput penjual). Dalam arti, kita menjemput penjual atas barang dagannya diluar kota sebelum penjual tersebut sampai dipasar.
Rasulullah Saw bersabda yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar, “janganlah kalian menjemput barang dagangan, sehingga barang tersebut turun ke pasar.”(H.R.Muslim)
6.      Larangan Menjual Barang yang Belum Sempurna Kepemilikannya
Dalam ekonomi islam, proses transaksi jual-beli suatu barang harus sempurna kepemilikannya. Dalam artian, seseorang tidak boleh menjual suatu barang yang belum penuh kepemilikannya dan masih dalam keterlibatan pihak lain.
7.      Larangan Menimbun Harta (Ikhtikar)
Rasulullah Saw bersabda, “barang siapa melakukan ikhtikar dengan bertujuan untuk menaikkan harga atas kaum muslimin maka orang itu berdosa, dan dia telah bebas dari dzimmah (tanggungan) Allah dan Rasul-Nya.”
8.      Konsep Kemudahan dan Kerelaan Dalam Pasar
Setiap transaksi yang kita lakukan harus mencerminkan keridhaan dan kerelaan masing-masing pihak dalam menentukan beberapa kesepakatan dalam bertransaksi.
Selain aturan-aturan yang telah dijelaskan diatas,ada beberapa etika yang harus dipegang oleh seorang muslim ketika melakukan transaksi dalam sebuah pasar.
a.     Jangan melakukan transaksi atas sebuuah transaksi yang telah dilakukan oleh orang lain, dan jangan melakukan intervensi atas transaksi yang telah dilakukan orang lain.
b.    Jangan menjadi orang yang tamak akan harta benda.
c.     Menanamkan akhlak yang mulia dalam kehidupan.
d.    Perlakukanlah orang lain seperti kita melakukan sesuatu untuk diri kita sendiri.
e.     Kembangkanlah ukhuwah dan jangan sampai menimbulkan kemudharatan bagi kehidupan masyarakat.

D.      PENETAPAN HARGA DALAM EKONOMI ISLAM
Realisasi terhadap berbagai aturan transaksi yang telah dijelaskan , diharapkan akan terbentuk pasar yang ideal, yaitu sebuah pasar yang mendatangkan kemaslahatan bagi para pelaku pasar itu sendiri. Dalam perkembangannya, pemerintah mempunyai hak untuk melakukan intervensi dalam menetapkan harga. Kendatipun hal ini masih dalam polemik, tetapi sangat tergantung pada kondisi dan situasi pasar yang berkembang saat itu.
1.     Larangan Intervensi Harga
Ada ulama fiqh yang melarang adanya intervensi harga, diantaranya adalah Ibnu hazam dan Ibnual- Atsir. Menurut kedua ulama tersebut, pelarangan tehadap intervensi harga mengacu pada hadist Rasulullah Saw. Suatu kali masyarakat datang kepada Rasulullah untuk meminta beliau menurunkan harga-harga yang ada dipasar, karena pada saat itu harga-harga barang melonjak tinggi. Akan tetapi Rasulullah menolak melakukan penurunan harga. Beliau bersabda, “sesungguhnya  Allah-lah yang telah menetapkan harga.”
2.     Pembolehan dan Kewajiban Melakukan Intervensi Harga
Penolakan Rasulullah atas intervensi dikarenakan tidak adanya kebutuhan untuk melakukan hal tersebut atau kemungkinan akan timbul kezaliman bagi para pedagang. Ibnu Timiyah menjelaskan, penduduk madinah pada saat itu belum membutuhkan adanya intervensi. Ada kalanya kenaikan harga disebabkan faktor eksternal yang bukan merupakan kehendak para penjual. Ibnu Taimiyah membolehkan intervensi dalam keadaan tertentu. Sepintas pendapatnya ini bertentangan dengan sikap Rasulullah yang menolak intervensi. Namun, sebenarnya pendapat Ibnu Taimiyah justru menjabarkan hadist Rasulullah Saw, bahwa seharusnya harga terjadi secara rela sama rela pada saat penawaran bertemu permintaan.
3.     Pelarangan Ikhtikar (penimbunan)
Ikhtikar adalah menahan (menimbun) sebuah komoditas dari penjualan dan peredaran pasar dengan tujuan tertentu.
Dalam hal ini penimbunan akan dilarang jika menemui kendala sebagai berikut :
a.       Komoditas yang ditimbun merupakan kebutuhan pokok yang berdampak pada inflasi dan kemudharatan jika tertahannya komoditas tersebut.
b.      Adanya interval waktu untuk menunggu kenaikan harga  yang diikuti dengan kebutuhan masyarakat atas komoditas tersebut.
c.       Komoditas yang ditahan merupakan barang yang sedang diminati oleh masyarkat.
4.     Kewajiban Intervensi Harga dengan Sadd adz-Dzara`i`
Sadd adz-Dzara`i’ merupakan sebuah dalil yang dapat digunakan sebagai landasan untuk mengetahui suatu hukum. Sadd adz-Dzara`i’ juga dapat dijadikan sebagai hukum dalam suatu perkara yang dapat mendatangkan kerusakan (mafsadah) sehingga perkara itu berkembang menjadi sesuatu yang diharamkan dalam pelaksanaanya.
5.     Konsep Maslahah
Maslahah merupakan dalil hukum yang dapat digunakan untuk melakukan penetapan hukum terhadap suatu perkara. Seperti yang telah kita ketahui, bahwa  tujuan intervensi harga oleh pemerintah adalah dalam rangka mewujudkan maslahat bagi kehidupan masyarakat. Dan ketika pemerintah memandang hal tersebut sebagai suatu kemaslahatan maka saat itu pula intervensi dapat dijalankan. Ada beberapa kondisi yang memperbolehkan adanya tas`ir (penetapan harga), seperti dalam waktu perang,musim panceklik, dan lain sebagainya.
Allah Swt berfirman : 
  
90. Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.

Berdasarkan penjelasan diatas , ada beberapa poin yang harus dipahami, yaitu:
a.       Pada dasarnya penentuan harga sebuah komoditas berdasarkan atas asas kebebasan. Harga yang terbentuk merupakan hasil pertemuan antara permintaan dan penawaran dengan asumsi pasar berjalan dengan normal.
b.      Dalam kondisi tertentu, pemerintah boleh melakukan intervensi harga. Seperti terjadinya penimbunan, adanya kolusi di antara penjual ataupun pembeli dan distorsi pasar.
c.       Intevensi yang dilakukan bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan bagi kehidupan masyarakat.
d.      Harga yang ditetapkan harus berdasarkan prinsip keadilan bagi semua pihak dan tidak diperbolehkan adanya pihak yang dirugikan.

E.       HARGA EKUILIBRIUM
Equilibrium price (harga yang adil) perspektif  ekonomi islam adalah harga yang tidak menimbulkan dampak negatif (bahaya) ataupun kerugian bagi pelaku pasar; baik dari sisi penjual maupun pembeli.
Dalam hal ini ibnu Taimiyah berpendapat, “apabila harga yang terbentuk tidak merefleksikan kerelaan masing-masing pihak dan tidak terdapat persentase keuntungan tertentu, maka hal tersebut akan menyebabkan rusaknya sebuah harga dan dapat merugikan kekayaan manusia.” 
Mewujudkan sebuah harga yang adil harus memperhatikan berbagai macam aspek dan elemen para pelaku pasar; baik biaya produksi, kebutuhan masyarakat, maupun sumber ekonomi dan berbagai unsur yang dapat menciptakan keadilan suatu harga.
F.       PENGAWASAN PASAR
Untuk menjaga keberlangsungan pasar secara normal dan tetap dapat mewujudkan kemaslahatan hidup bermasyarakat, diperlukan suatu lembaga yang mengawasi kegiatan secara optimal. Lembaga tersebut berkewajiban mengamati mekanisme pasar dan menjaganya dari praktik penimbunan,penipuan,praktik ribawi, serta tindakan yang dapat menyebabkan terjadinya distorsi pasar.
Praktik pengawasan telah dicontohkan oleh Rasulullah dengan terjun langsung kepasar. Dalam operasionalnya, beliau mengelilingi pasar dengan melakukan pembenahan tehadap berbagai tindak penyimpangan yang terjadi di dalamnya. Dalam sebuah riwayat dijelaskan tindak kecurangan dan manipulasi dalam pasar dilanjutkan oleh Khulafa ar-Rasyidin dengan mendirikan suatu lembaga , yaitu al-Hisbah.
Lembaga ini menuntut beberapa persyaratan yang harus dipenuhi dan dimiliki oleh pelaksana hariannya, yaitu :
1.     Memiliki unsur keimanan yang kuat,
2.     Memiliki kemampuan untuk melakukan amar ma`ruf nahi munkar,
3.     Menguasai pengetahuan tentang syariah secara luas demi pembentukan suatu hukum yang komprehensif,
4.     Memiliki kemampuan untuk menegakkan keadilan dan kesejahteraan masyarakat.